Social Icons

Pages

Selasa, 25 September 2012

Kesultanan Cirebon

Denah Kesultanan Cirebon

Cirebon adalah daerah di pantai utara Jawa Barat. Daerah ini penting untuk di bahas, karena keunikan budayanya. Kebudayaan Cirebon adalah hasil campuran beberapa budaya di sekitarnya. Bahasa misalnya, menunjukkan pengaruh bahasa Jawa dan Sunda yang kuat. Bagaimana percampuran itu bisa terjadi? Mungkin menelusuri sejarah kesultanan Cirebon dapat membantu kita memahaminya.

Dahulu Cirebon adalah sebuah desa kecil bernama Caruban yang dibuka oleh Ki Gedeng Tapa. Ki Gedeng Tapa adalah seorang Saudagar di pelabuhan Muarajati. Sejak ia membuka desa, mulai banyak orang yang ikut menetap di sana. Nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran) lama-kelamaan berganti dengan Cirebon (Bahasa Sunda: air rebon) karena banyak orang yang bermata pencaharian sebagai pencari ikan dan rebon (udang kecil). Orang pertama yang diangkat menjadi kuwu (kepala desa) adalah Ki Gedeng Alang-Alang dan wakilnya adalah Raden Walangsungsang, cucu Ki Gedeng Tapa yang juga putera Prabu Siliwangi dari kerajaan Pajajaran.

Setelah Ki Gedeng Alang-Alang meninggal, Raden Walangsungsang melanjutkan sebagai kuwu yang kedua bergelar Pangeran Cakrabuana. Ketika Ki Gedeng Tapa meninggal, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan jabatan itu, melainkan mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan Cirebon.

Pada tahun 1479 ia meninggal dunia dan kedudukannya digantikan oleh keponakannya yang bernama Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah yang juga dikenal sebagai Sunan Gunung Jati adalah putera dari Nyai Rara Santang dengan Syarif Abdullah dari Mesir. Kesultanan Cirebon banyak berkembang pada masa ini. Saat Syarif Hidayatullah meninggal, yang diangkat menjadi pengganti adalah Fatahillah, menantunya. Ini karena putranya yang masih hidup telah memerintah di Banten.

Setelah Fatahillah meninggal, ia digantikan oleh cucu Sunan Gunung Jati, yang bergelar Panembahan Ratu I. Panembahan Ratu I kemudian diganti oleh Pangeran Karim yang bergelar Panembahan Ratu II atau Panembahan Girilaya.

Pada masa Panembahan Girilaya, Cirebon berada diantara kekuatan Banten dan Mataram yang sama-sama menaruh curiga. Selain masih mempunyai ikatan darah dengan Banten, Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma Mataram. Puncaknya, Panembahan Girilaya meninggal saat berkunjung ke Surakarta. Selain itu, kedua putranya yang bernama Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya juga ditahan.

Kekosongan kekuasaan di Cirebon membuat sultan Banten menobatkan Wangsakerta, putera ketiga Panembahan Girilaya, sebagai pengganti. Sultan Banten juga membantu memulangkan dua pangeran yang ditahan Mataram.

Pada tahun 1677, kesultanan Cirebon pecah menjadi tiga:

1. Pangeran Martawijaya atau sultan Kraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi Makarimi Muhammad Samsudin (1677 – 1703)
2. Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723)
3. Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, dengan gelar pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677 – 1713)

Setelah perpecahan tersebut masih ada perpecahan lagi pada tahun 1807. Saat itu putra Sultan Anom IV ingin membangun kesultanan sendiri. Keinginan itu didukung pemerintah belanda. Akhirnya muncul kesultanan baru yang bernama kesultanan Kacirebonan. (PDS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar